Header Ads

Cerewet 03

 Media dibuat oleh meta.ai

tanah di Lau Lau

Apa Lau lau itu?

Sungai Lau lau adalah sungai kecil, yang mengalir ke sungai Lubai. Walaupun sungai Lau Lau, hanyalah sebuah sungai kecil, namun sangat bersejarah didalam kehidupan nenek moyang kami. Kata Lau lau seperti bahasa Cina. Didalam bahasa Lubai kata Lau lau, tidak ada maksudnya. Namun jika ditambah awal me_ maka menjadi melaulau. Kata me laulau mempunyai bicara semaunya saja. Kata melaulau, dapat juga diartikan tanpa batas. Bicara tanpa batas, dinamakan melaulau...!

lokasi Lau lau

Sungai 'Batangahi Lau lau' terletak di desa Jiwa Baru, kecamatan Lubai, kabupaten Muara Enim, provinsi Sumatera Selatan.

Bagaimana kondisi Sungai Lau lau itu?

Sungai  Lau lau apabila sedang musim kemarau, maka airnya kering. Hanya sebagiannya saja, yang ada genangan airnya. Sungai ini akan digenangi air kembali, setelah sungai Lubai banjir. Sungai Lubai banjir atau rawang dalam bahasa Lubai, biasanya pada bulan Desember setiap tahunnya.

sejarah Sungai Lau lau 

Pada tahun 1970-an disungai ini merupakan tempat mencari ikan. Keluarga besar kami ada sebuah bendungan pada sungai ini, kami menyebutnya 'tebat lau lau'. Di sepanjang Daerah Aliran Sungai 'DAS' Lau lau terdapat tanah lahan pertanian yang potensial. Dahulu sepanjang DAS Lau lau terdapat kebun Karet yang dikelola oleh rakyat Desa Jiwa Baru Lubai. Keluarga kami, memliki lahan pertanian seluas 70.000 meter persegi atau 7 hektar area.

Beberapa contoh pohon yang tumbuh di kawasan ini, antara lain pohon benuwang (Octomeles sumatrana), cempedak air (Artocarpus maingayi), pohon tualang (Koompassia parvifalia), dan menggeris (K. excelsa).

Seiring dengan perkembangan zaman, warga Lubai yang dilanda euforia Informasi dan Komunikasi yang mengakibat sebagian masyarakat ada yang melupakan adat istiadat yang berlaku. Akibatnya suatu saat Sungai Sepape akan hilang ditelan Zaman. Hak penguasaan dan pengelolaannya semula milik warga Jiwa Baru, berpindah menjadi milik Perusahaan yang bermodal. Dan sebagian lagi berpindah tangan kepada para pendatang.

Sungguh ironis, masyarakat desa Jiwa Baru tidak dapat mempertahankan peninggalan nenek moyang nya. Yang sangat menyedihkan terdapat hak-hak warga Lubai yang merantau, dirampas begitu saja dengan dalih lahan terlantar. Diantaranya lahan pertanian milik keluarga kami, telah hilang ditelan alam.

Maafkan aku, nenek moyang kami yang telah memberikan peninggalan berupa Sungai Lau lau dan Lahan pertaniannya. Karena aku tidak mampu mempertahankan hak penguasaaan tanah yang telah engkau warisan kepadaku berserta saudara-saudaraku. 

tanggal 11 Agustus 2010, Hari Rabu

Hari Rabu, tanggal 11 Agustus 2010, kami serombongan berangkat menuju lokasi tanah di dekat Sungai Lau Lau, desa Jiwa Baru, kecamatan Lubai, kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Kami terdiri dari Paman Sukardin bin Wakif, aku Amrullah Ibrahim, Ayuk Nur Asmara, Kakak Ridwan bin Abdullah, Arios bin Sukardin, dan Ferdy bin Amrullah Ibrahim.
 
Hari Rabu, 11 Agustus 2010, aku dan rombongan keluarga berangkat meninjau tanah di dekat Sungai Lau Lau, Desa Jiwa Baru, Kecamatan Lubai, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Kami serombongan terdiri dari Paman Sukardin bin Wakif, aku sendiri, Amrullah Ibrahim, Ayuk Nur Asmara, Kakak Ridwan bin Abdullah, Arios bin Sukardin, dan Ferdy bin Amrullah Ibrahim.
 
Kami berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju lokasi tanah yang akan kami tinjau. Udara pagi yang segar dan pemandangan alam yang indah membuat kami semakin bersemangat. Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya kami tiba di lokasi tanah yang terletak di dekat Sungai Lau Lau.
 
Setelah melakukan peninjauan, kami melihat bahwa kondisi tanahnya masih sangat utuh dan siap untuk digunakan. Tanah yang luas dan hijau dengan pemandangan sungai yang indah membuat kami semua sangat senang. Paman Sukardin dan Kakak Ridwan membahas tentang rencana pembangunan yang akan dilakukan di atas tanah ini.
 
Aku sendiri merasa sangat beruntung bisa meninjau tanah ini bersama keluarga. Pemandangan alam yang indah dan udara yang segar membuatku merasa sangat damai. Setelah selesai meninjau, kami semua sepakat bahwa tanah ini sangat potensial untuk dikembangkan.
 
kenangan masa kecil 

Tempat ini dapat dijadikan objek wisata pemacingan ikan dan lahan pertanian. Tanah diwilayah ini, merupakan warisan dari nenek moyang kami, yang telah dikuasai sejak ratusan tahun silam. Sangat ironis, apabila ada yang mengaku bahwa tanah disekitar 'tebat sehokdian' miliknya. Apabila masih 1 nenek moyang, mungkin saja sama-sama memiliki. Itupun harus dijelaskan, bagaimana ceritanya dia ada hak pada tanah dikawasan sungai sehok dehian.

Aku terkenang kembali saat ikut mengambil getah Karet. Pada tahun 1970-an aku diajak menemani ibunda kami napas karet baca 'nakok balam' dikawasan ini. Keluarga kami menyebut tanah dikawasan ini, tanah di 'tebat lau lau'. Kebun karet kami disini, terpisah pisah. Ada yang agak banyak batang karetnya dan ada juga yang sedikit. Kami sering menyebutnya 'kebun lau lau'. Sangat disayangkan saat ini, lahan pertanian milik kami, telah beralih penguasaanya. Kami meninjau kawasan ini sejak pukul 14.00 WIB sampai dengan pukul 14.30 WIB.

Demikian cerita cerewet ketiga ini, cerita peninjauan tanah warisan nenek moyang. beberapa orang mungkin tidak menyadari dampak negatif dari sifat cerewet mereka. Jika Anda merasa terpengaruh oleh sifat cerewet seseorang, mungkin ada baiknya untuk berbicara terbuka dan jujur tentang perasaan Anda.

Salam interaksi. 

Tidak ada komentar

Cerewet 11

  Kejadian lucu itu masih teringat jelas sampai sekarang. Saat itu tahun 2019, kami sekelompok teman memutuskan untuk berkunjung ke Bantul...

Diberdayakan oleh Blogger.