Header Ads

Cerewet 04

 Media dibuat oleh meta.ai

tanah di Sehok Dehian

Apa Sehok Dehian itu?

Sehok Dehian adalah nama sebuah sungai kecil airnya yang mengalir ke sungai Lubai. Kata sehok artinya memahami. Kata Dehian artinya Durian. Sehok Dehian artinya Memahami buah durian. Walaupun sungai Sehok Dehian hanyalah sebuah sungai kecil, namun sangat berarti didalam kehidupan nenek moyang kami.

Dimana lokasinya?

Sungai Sehok Dehian terletak di seberang sungai Lubai, desa Jiwa Baru, kecamatan Lubai, kabupaten Muara Enim, provinsi Sumatera Selatan.

Bagaimana kondisi sungainya?

Kondisi sungai Sehok Dehian saat ini, tidak sebaik seperti era tahun 1970. Saat ini, apabila sedang musim kemarau, maka airnya kering. Hanya sebagiannya saja, yang ada genangan airnya. Sungai ini akan digenangi air kembali, jikalau sungai Lubai banjir. Sungai Lubai banjir atau rawang dalam bahasa Lubai, biasanya pada bulan Desember setiap tahunnya.

Bagaimana sejarahnya?

Pada tahun 1970-an disungai ini merupakan tempat mencari ikan. Keluarga besar kami ada sebuah bendungan pada sungai ini, kami menyebutnya 'tebat sehok dehian'. Di sepanjang Daerah Aliran Sungai 'DAS' Sehok Dehian terdapat tanah lahan pertanian yang potensial. Dahulu sepanjang DAS Sehok Dehian terdapat kebun Karet yang dikelola oleh rakyat Desa Jiwa Baru Lubai. Keluarga kami, memliki lahan pertanian seluas 100.000 meter persegi atau 10 hektar area.

Seiring dengan perkembangan zaman, warga Lubai yang dilanda euforia Informasi dan Komunikasi yang mengakibat sebagian masyarakat ada yang melupakan adat istiadat yang berlaku. Akibatnya suatu saat Sungai Sehok Dehian akan hilang ditelan Zaman. Hak penguasaan dan pengelolaannya semula milik warga Jiwa Baru, berpindah menjadi milik Perusahaan yang bermodal. Dan sebagian lagi berpindah tangan kepada para pendatang.

Sungguh ironis, masyarakat desa Jiwa Baru tidak dapat mempertahankan peninggalan nenek moyangnya. Yang sangat menyedihkan terdapat hak-hak warga Lubai yang merantau, dirampas begitu saja dengan dalih lahan terlantar. Di - antaranya lahan pertanian milik keluarga kami, telah hilang ditelan alam.

Maafkan aku, nenek moyang kami yang telah memberikan peninggalan berupa Sungai Sehok Dehian dan Lahan per taniannya. Karena aku tidak mampu mempertahankan hak penguasaaan tanah yang telah engkau warisan kepadaku berserta saudara-saudaraku. 

meninjau tanah dan sungai

Hari Rabu, 11 Agustus 2010, pukul 14.50 WIB, matahari bersinar cerah di atas tanah yang telah menjadi milik keluarga kami selama ratusan tahun. Kami serombongan berkumpul untuk meninjau lokasi tanah di dekat Sungai Sehokdehian, sebuah wilayah yang kaya akan sejarah dan kenangan bagi keluarga kami.

Paman Sukardin bin Wakif, yang bijak dan berpengalaman, memimpin perjalanan kami. Aku, Amrullah Ibrahim, dikenal dengan Amar Lubai, berjalan di sampingnya, memperhatikan setiap detail tanah yang kami lalui. Ayuk Nur Asmara membawa kamera untuk mengabadikan momen ini, sementara Kakak Ridwan bin Abdullah mengamati kondisi tanah dengan seksama. Arios bin Sukardin dan Ferdy bin Amrullah Ibrahim berjalan di belakang, membahas rencana pembangunan yang mungkin akan dilaku kan di atas tanah ini.
 
Saat kami tiba di dekat Sungai Sehokdian atau Sehok Dehian, kami melihat tanah yang luas dan subur. Paman Sukardin menjelaskan sejarah tanah ini, bagaimana nenek moyang kami memperolehnya dan bagaimana tanah ini telah menjadi bagian dari keluarga kami selama beberapa generasi. Kami semua mendengarkan dengan seksama, menghargai warisan yang telah diberikan kepada kami.
 
Tiba-tiba, kami melihat seseorang yang mengaku sebagai pemilik tanah di sekitar "tebat sehokdian". Paman Sukardin langsung menanggapi dengan bijak, "Jika masih satu nenek moyang, mungkin saja sama-sama memiliki. Namun, harus dijelaskan bagaimana ceritanya dia memiliki hak atas tanah di kawasan sungai ini."
 
Kami semua setuju dengan pendapat Paman Sukardin. Kami tidak ingin ada konflik atau kesalah -pahaman tentang kepemilikan tanah. Kami ingin memastikan bahwa tanah ini tetap menjadi milik ke -luarga kami dan digunakan untuk kepentingan bersama.
 
Setelah meninjau tanah, kami semua sepakat untuk mempertahankan hak kami atas tanah ini dan me mastikan bahwa tanah ini tetap menjadi bagian dari warisan keluarga kami. Kami berjanji untuk terus menjaga dan memelihara tanah ini untuk generasi mendatang.

kenangan indah masa kecil

Setelah melihat hamparan hutan kecil yang ada sepanjang dialiran sebuah kecil yaitu Sungai Sokhdian. Aku terkenang kembali saat ikut mengambil getah Karet. Pada tahun 1970-an aku diajak menemani ibunda kami napas karet baca 'nakok balam'  dikawasan ini. Keluarga kami menyebut tanah dikawasan ini, tanah di 'tebat sehokdian'. Kebun karet kami disini, terpisah pisah. Ada yang agak banyak batang karetnya dan ada juga yang hanya 25 batang. Kami sering menyebutnya 'kebun selawi'. Sangat disayangkan saat ini, lahan pertanian milik kami, telah beralih penguasaanya. Kami meninjau kawasan ini sejak pukul 14.30 WIB sampai dengan pukul 15.30 WIB.

Demikian, cerita cerewet ke empat ini. Memang hidup kadangkala, kita harus cerewet. Dalam beberapa orang mungkin tidak menyadari dampak negatif dari sifat cerewet mereka. Jika Anda merasa terpengaruh oleh sifat cerewet seseorang, mungkin ada baiknya untuk berbicara terbuka dan jujur tentang perasaan Anda.
 
Salam interaksi. 

Tidak ada komentar

Cerewet 11

  Kejadian lucu itu masih teringat jelas sampai sekarang. Saat itu tahun 2019, kami sekelompok teman memutuskan untuk berkunjung ke Bantul...

Diberdayakan oleh Blogger.