Header Ads

Cerewet 09

 Media dibuat oleh meta.ai

Air Sabut - jiwa baru

Air Sabut, atau Aiyah Sabut, adalah sebuah sungai kecil yang terletak di desa Kurungan Jiwa, lebih spesifiknya di Jiwa Baru, kecamatan Lubai, kabupaten Muara Enim, provinsi Sumatera Selatan. Sungai ini dimiliki oleh warga desa Jiwa Baru dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan dan cerita rakyat setempat.
 
Untuk mencapai Air Sabut, perjalanan dimulai dari desa Jiwa Baru dengan menelusuri jalan raya beraspal sekitar 3 kilometer hingga mencapai persimpangan ke kanan. Dari sana, perjalanan dilanjutkan dengan menelusuri jalan tanah atau "bakal pembarap" sepanjang kira-kira 4 kilometer hingga tiba di puncak Bukit Jehing. Dari atas Bukit Jehing, pengunjung dapat menikmati pemandangan yang sangat indah sebelum melanjutkan perjalanan menuju Air Sabut.
 
Jarak dari Bukit Jehing ke Air Sabut adalah sekitar 3 kilometer, dan perjalanan ini memerlukan kendaraan roda dua karena medan yang cukup sulit. Meskipun perjalanan ke Air Sabut mungkin melelahkan, keindahan alam di sekitar bendungan Air Sabut membuatnya sangat berharga untuk dikunjungi. Pengalaman mengunjungi Air Sabut juga erat kaitannya dengan cerita rakyat setempat, seperti yang berkaitan dengan Puyang Natakerti, menambah nilai historis dan budaya dari tempat ini.
 
Kenangan indah 

Saya masih ingat hari itu, tahun 1970. Ayahanda memanggil saya, Amrullah Ibrahim, untuk ikut bersamanya ke ladang untuk melakukan tradisi mandok ume, membakar kayu-kayu yang telah ditebang sebelumnya. Ladang yang luasnya sekitar 30 meter kali 1000 meter itu menjadi saksi bisu kegiatan kami hari itu.
 
Kami berangkat pada malam hari, saat bintang-bintang mulai terlihat di langit. Ayahanda membawa obor untuk menerangi jalan, sementara saya membawa semangat dan rasa penasaran yang besar. Setelah beberapa saat berjalan, kami tiba di ladang yang luas dan terbentang di depan mata.
 
Ayahanda mulai membagi tugas, ada yang memantau api, ada yang menyiramkan air pada kayu yang masih basah, dan saya membantu ayahanda membakar kayu-kayu yang kering. Api mulai membesar, menerangi wajah ayahanda dan saya. Suhu panas mulai terasa, tapi kami terus bekerja dengan giat.
 
Pekerjaan berlangsung selama 3 jam, di mana kami harus berhati-hati agar api tidak terlalu besar dan tidak terkendali. Ayahanda selalu mengingatkan saya untuk tetap waspada dan tidak terlalu dekat dengan api. Saya melakukan yang terbaik untuk membantu, meskipun kondisi gelap gulita dan hanya api yang menerangi ladang.
 
Setelah pekerjaan selesai, kami beristirahat sejenak dan menikmati hangatnya api. Ayahanda menepuk bahu saya dan berkata, "Kamu sudah besar, Amrullah. Kamu sudah bisa membantu ayah di ladang." Saya merasa bangga dan bahagia bisa membantu ayahanda. Saat itu, saya tidak menyadari bahwa pengalaman itu akan menjadi kenangan yang tak terlupakan bagi saya.
 
Demikian, cerita cerewet ke sembilan ini. Semoga ada manfaatnya, karena setiap momen ada ceritanya dan setiap cerita ada momennya.
 
Salam interaksi. 

Tidak ada komentar

Cerewet 11

  Kejadian lucu itu masih teringat jelas sampai sekarang. Saat itu tahun 2019, kami sekelompok teman memutuskan untuk berkunjung ke Bantul...

Diberdayakan oleh Blogger.