Header Ads

Cerpul 04

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
السلام عليكم 

Serumpun bambu, tumbuh subur diatas tanah warisan
Ibunda Nafisyah binti Wakif

Cerita Pulang kampung ke 4 maksudnya sejak penulis menjadi perantau dan tinggal diperantauan Provinsi Lampung, penulis melakukan perjalanan pulang kampung ke desa Baru Lubai di Kecamatan Prabumulih Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan, pada kesempatan ini merupakan yang ke-empat.

Setelah tujuh belas tahun lamanya penulis mengikuti orangtua pergi merantau. Keluarga besar penulis saat ini berdomisili di Jalan Wibisono Nomor : 47 Tanjungkarang Kota Bandar Lampung Provinsi Lampung, penulis dan Ayahanda pulang kampung. 
 
Tujuan perjalanan pulang kampung :
Adapun tujuan pulang kampung ke-empat ini adalah mengurusi tanah lahan pertanian di Dataran Bukit Jehing, Desa Jiwa Baru Kecamatan Lubai Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan.

Catatan perjalanan ini merupakan sekelumit cerita, penulis melakukan aktivitas selama melakukan perjalanan pulang kampung pada tahun 1987.

Tanggal 21 September 1987, Hari Senin

Rute pertama : Tanjung karang - Prabumulih

Berangkat pulang kampung...! Penulis dan Ayahanda berangkat pukul 09.00 WIB dari Stasiun Tanjungkarang menuju Stasiun Prabumulih. Kami berangkat naik Kereta api Fajar kelas Bisnis. Stasiun demi stasiun dilewati penulis coba untuk menghapal nama-namanya. 

Nama stasiun yang masih ingat yaitu : 
  • Stasiun Rajabasa, 
  • Stasiun Natar, 
  • Stasiun Kotabumi, 
  • Stasiun Blambangan Umpu, 
  • Stasiun Martapura, 
  • Stasiun Baturaja, 
  • Stasiun Peninjauan, 
  • Stasiun Pagar Gunung, 
  • Stasiun Tanjung Rambang, 
  • Stasiun Prabumulih. 
Dari beberapa stasiun itu ada salah satu stasiun yang selalu menjadi ingatan saya yaitu stasiun Baturaja. Saat itu, entah apa yang terjadi gerbong kami tumpangi harus ditinggal. Oleh karena itu, semuanya harus pindah gerbong. Na'as bagi saya tiba disambungan gerbong, ada orang yang menghalangi saya. Saya berusaha untuk melintas, tapi tidak bisa. Tanpa disadari, beberapa saat kemudian, uang saya sudah berpindah tangan. Aduh mak, nasibku... Astagh firullah.

Tiba di Prabumulih waktu menunjukkan pukul 20.00 WIB, dari Stasiun kereta api menuju rumah Paman M. Haris penulis dan Ayahanda berjalan kaki. Hal ini kami lakukan dikarenakan jarak tempuhnya tidak terlalu jauh. 

Setelah sampai dirumah Paman beristirahat sebentar, dilanjutkan mandi dan sholat Isyak. Selesai sholat Isyak, kami dipersilakan makan oleh sepupuku anak paman M. Haris. Selesai makan malam, kami mengobrol sebentar akhirnya kami tertidur, tepat pukul 23.00 WIB.

Tanggal 22 September 1987

Rute kedua : Prabumulih - Jiwa Baru

Berangkat ke desa Jiwa Baru. Berangkat dari Prabumulih pukul 09.30 WIB kami naik angkutan umum, sebuah Bus Milik Fantazir dari desa Jiwa Baru. Rute yang ditempuh melalui desa Kayu Are, Desa Tanjung Kemala sehingga sampai ke desa Jiwa Baru waktu telah menunjukkan pukul 12.30 WIB.

Makan siang dirumah Paman Sukardin dan sholat Zuhur dan sore harinya kami menuju kerumah Ayah mertua Kakak sulung kami. Saat tiba waktu sholat Maghrib kami melakukannya berjemaah di Masjid kebangaan masyarakat Jiwa Baru, yang menjadi imam Kakak Umar Chottob. Kata Ayahanda penulis bahwa tanah Masjid ini merupakan wakaf dari Poyang Riamad, dikenal oleh masyarakat setempat Poyang Lebi.

Setelah kami sholat Isyak berjemaah dilanjutkan dengan makan malam pada pukul 19.30 WIB. Selanjutnya Ayahanda penulis menyampaikan kepada Ayah mertua Kakak sulung maksud dan tujuan kami pulang ini adalah ingin mengurusi areal pertanian di Dataran Bukit Jehing yang saat ini dibuka oleh masyarakat Jiwa Baru. Kesimpulan dari obrolan ini adalah besok pagi Ayahanda dan penulis dianjurkan melihat tanah itu.


Tanggal 23 September 1987

Menginventarisir tanaman di Dataran Bukit Jehing. Saat mentari menyinari bumi tempat kelahiranku, kami pergi melihat tanah yang dibuka oleh masyarakat Jiwa Baru, pukul 08.00 WIB. Ayahanda naik sepeda motor digonceng oleh April. Penulis dengan mengendarai sepeda milik Kakak Autad. 

Tiba dilokasi kami memulai menginventarisir seperti : 
  • Kayu dengan diameter 35 centimeter 125 batang, 
  • kayu berdiameter 25 centimter 350 batang, 
  • Serai Jambi hanya tersisa tunggul-tunggulnya saja. 
Kami memandang dilahan yang dulunya tumbuh subur Serai Jambi itu kini yang nampak hanya warna hitam belaka. Warna hitam ini terdiri dari sisa pembakaran lahan seperti kayu dan Serai Jambi.

Semua tunggul kayu kami beri tanda merah, selanjutnya dengan menggunakan tali kami mengukur areal yang telah dibuka diperkirakan lebih kurang 70 hektar, dan lahan yang belum dibuka lebih kurang 30 hektar yang ditumbuhan perdu dan kayu-kayu pelawan dalam bahasa Lubai.

1 ha = 100 a = 10000  = 1 hm² = 0,01 km²1 km² = 100 ha

Kerumah Kepala Desa. 

Penulis dan Ayahanda pergi kerumah Kepala Desa Kurungan Jiwa, Kecamatan Rambang Lubai Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan, pukul 19.30 WIB. Ayahanda penulis mengutarakan maksud dan tujuan kedatangan kami kerumah beliau yaitu inti permasalahannya adalah bagaimana penyelesaian areal perkebunan keluarga besar kami yang saat ini telah dibuka oleh masyarakat Baru Lubai dan Kurungan Jiwa.

Penjelasan dari Kepala Desa Kurungan Jiwa bahwa pembukaan lahan ini merupakan program dari pemerintah Sumatera Selatan dalam rangka Peremajaan Inti Rakyat atau PIR. Kesimpulan dari pembicaraan antara Ayahanda penulis dengan Kepala Desa Kurungan Jiwa adalah bahwa lahan yang telah dibuka akan diganti rugi sebesar Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) perhektar.

Ayahanda penulis berpikir sejenak keputusan apa yang akan diambil. Apabila ganti rugi ini diterima maka konsekuensinya kami harus rela melepaskan hak penggunaan tanah warisan ini. Dan sebaliknya apabila tidak diterima ganti rugi ini maka kami tidak mendapatkan apa-apa dari aspek materil, namun secara prinsip hak penggunaan tanah tersebut belum kami berikan.

Setelah tidak ada kata sepakat penulis dan Ayahanda pamit kepada Kepala Desa Kurungan Jiwa, dan kamipun kembali kerumah Ayahanda mertua Kakak sulung penulis, pukul 22.00 WIB.

Tanggal 24 September 1987

Pergi ke Tanah Bakal Luhus dan Gumsuruman. 

Penulis pergi menggunakan sepeda motor milik Paman Muhammad Haris dan Ayahanda naik motor digonceng oleh April. Hari ini kami pergi melihat tanah di Bakal luhus bekas areal tempat usaha pembuatan Bangsal Genting dan Bata yang dikelola oleh Ayahanda pada awal kemerdekaan setelah beliau memutuskan tidak ingin aktif instansi pemerintah. Letak tanah ini sangat strategis terletak dipinggir jalan beraspal dan dekat rawa-rawa yang banyak tanah liatnya sehingga sangat cocok untuk dijadikan tempat usaha pembuatan Batu bata dan Genting..

Selanjutnya kami pergi melihat kebun Karet yang terletak di Daerah Gumsuruman yang saat itu dikelola oleh April. Batang Karet masih terawat dan kayu tumbuh untuk dijadikan bahan cukup banyak. Setelah beberapa saat melihat lokasi kebun Karet ini, kamipun pulang kembali ke desa Kurungan Jiwa.

Pulang kampung ke 04 ini penuh cerita yang sedih, penuh dengan drama. Saya mengamati dengan seksama tentang masalah ini : ada beberapa orang yang pro kepada kami dan ada juga yang kontra. 

Catatan pentinhg : 
Ayahanda Muhammad Ibrahim bin Haji Hasan dan Ibunda Nafisyah binti Wakif berpesan kepada penulis dan saudara-saudara penulis yang lainnya, bahwa mereka tidak ridho tanah di Dataran Bukit Jehing yang merupakan bagian dari warisan diambil oleh pihak yang tidak ada hubungan nasap dengan Kakek Wakif bin Poyang Kenaraf.

Mengenai kerugian kami, baik secara materi maupun imateri akibat dari hilangnya hak penggunaan tanah tersebut, orangtua kami tersebut memilih menyerahkan sepenuhnya kepada pengadilan Allah Subhanahu wata'ala pada hari hisab di akhirat.

Aku bersaksi bahwa aku telah mendengar Rasulullah bersabda: “ Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka pada hari kiamat akan dikalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi ”.’” (HR Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, [Mesir: Mathba’ah al-Kubra al-Amiriyah, 1422 H], jilid IV, hlm. 107, nomor 3198).

Ya Allah, Ya Roqqib, Ya Adl
Sesungguhnya kami mohon keadilan masalah tanah kami ini, dan sesungguhnya tanah ini adalah milik-Mu dan manusia hanya mengelola saja. Dana Engkaulah Hakim, Yang Maha Adil. Aamiin. Ya Robbal 'Alamiin.

Demikian yang dapat saya ceritakan, walaupun banyak cerita yang mungkin tidak layak saya tuliskan.

Salam interaksi.

Tidak ada komentar

Cerewet 11

  Kejadian lucu itu masih teringat jelas sampai sekarang. Saat itu tahun 2019, kami sekelompok teman memutuskan untuk berkunjung ke Bantul...

Diberdayakan oleh Blogger.