Header Ads

Cersan 02

Media dibuat oleh meta.ai

Tempua bersarang rendah

Hai semua, selamat datang di blog cerita fiksi saya! Nama saya Amrullah Ibrahim, dan saya sangat senang bisa berbagi cerita ini dengan pembaca. Cerita ini berjudul 'Tempuah bersarang rendah' dan mengangkat tema tentang sebab musabab. Saya menulis cerita ini karena terinspirasi oleh pengalaman saya dimasa kecil. Semoga cerita ini bisa memberikan moral kepada pembaca. Selamat membaca, dan jangan lupa tinggalkan komentar ya!

Peribahasa "Kalau tidak berada-ada, takkan tempua bersarang rendah" artinya adalah "pasti ada sebab nya sesuatu hal itu terjadi" atau dengan kata lain "tidak mungkin sesuatu terjadi tanpa adanya suatu alasan atau penyebab". Peribahasa ini mengibaratkan burung tempua yang biasanya membuat sarang tinggi di pohon, namun jika bersarang rendah, pasti ada sesuatu yang menyebabkan burung itu berani melakukannya. Mungkin ada sesuatu yang melindungi sarangnya, seperti sarang lebah atau tawon.
 
Arti dari peribahasa : Jikalau tidak berada-ada, masakan tempua bersarang rendah adalah setiap segala sesuatu pasti ada sebab musababnya hingga terjadi seperti demikian. Peribahasa ini dapat anda gunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan sebagai suatu perumpamaan yang mempunyai arti Setiap segala sesuatu ada sebab musababnya hingga terjadi seperti demikian.

Sebuah Pantun...
Burung tempua bersarang rendah,
Hendak ku kait terasa sayang,
Hari ini terasa cukuplah indah,
Harap-harap cerah sampai ke petang.


Cerita mengapa burung tempuah berasarang rendah, cerita merupakan pengalaman nyata saya, pada tahun 1973, saat itu usia saya 12 tahun. Saya murid kelas VI di SD Negeri Citalaksana, kecamatan Talang Padang, kabupaten Lampng Selatan, provinsi Lampung.   
 
Pada suatu hari, saat saya ingin mandi tidak jauh dari tempat pemandian itu, saya melihat sarang-sarang burung tempuah pada sebatang pohon yang terletak dipinggir sawah. Dari kejauhan saya melihat, hamparan sawah yang luas, sejuk dipandang mata, sungguh besar anugerah dari Allah.
 
Sedikit saya gambarkan kondisi saat itu : 
  • Hamparan hijau: luasnya area sawah yang dipenuhi oleh tanaman padi yang hijau.
  • Permadani hijau: sawah seperti hamparan kain hijau yang indah dan lembut.
  • Pemandangan menyejukkan: suasana yang menenangkan dan nyaman saat melihat hamparan sawah yang hijau.
Sarang burung tempua

Burung Tempua disebut juga dengan Manyar adalah burung kecil, suara ataupun bulunya tak menarik. Jika berada dengan burung gereja, emprit dan sejenisnya sayapun tak tau burung manyar yang mana. Satu yang sangat menarik, sarang burung manyar seperti kantung. Di tepi sawah milik penduduk desa Citalaksana, kabupaten Lampung Selatan, ada sebatang pohon Bayur. Pandangan mata saya, tertuju pada sebatang pohon Bayur itu, dikarenakan disana saya lihat banyak sarang burung tempua bergelantungan. Setiap lewat di tempat itu, aku selalu memperhatikan, "sarang burung tempua.!" Laksana lampu-lampu lampion yang tersusun rampi.

Sarang burung Manyar "Tempua" dibangun oleh burung jantan. Setiap musim kawin pejantan akan berlomba membuat sarang sebagus dan sekokoh mungkin. Burung betina memilih pasangan dengan memilih sarang terbaik, bukan pejantan paling gagah. Sepertinya matre ya, tapi itulah ciptaan Allah yang tiada duanya. Kelangsungan hidup keturunan lebih penting dari pada wajah rupawan, rumah kokoh akan menyediakan tempat yang nyaman dan aman untuk calon generasi penerus. Walau tetap tidak aman dari gangguan manusia. 
 
Bagaimana nasip pejantan yang tidak terpilih? Dengan suka rela menerima kekalahan dengan merusak rumah yang telah dibangun dengan susah payah dan akan kembali membangun rumah dengan lebih kokoh di musim kawin berikutnya.

Saat beranjak dewasa, saatnya masa berpasangan. Tempua jantan mulai membangun sarang, terbuat dari alang-alang atau daun-daun tebu atau daun-daun lain yang panjang-panjang. Benar-benar ahli dan besenilah mereka membangun sarang yang rapi serta bercitra perlindungan yang meyakinkan. Sedang yang betina melihat saja dengan santai tapi penuh perhatian pada jantan yang bekerja sambil menaksir hasil kerja para jantan, mempertimbangkannya dan memilih. Berbahagialah yang terpilih, namun alangkah sedihnya yang tidak terpilih, sarang yang telah selesai itu dilolosi dan dibongkar sehingga semua rusak lalu segala jerih payah yang gagal itu dibuang ke tanah. 
 
Tapi syukurlah, mereka tidak putus asa. Manyar jantan yang frustasi itu mulai mencari alang-alang dan daun-daun tebu lagi dan sekali lagi dari awal mula mulai membangun sarang baru, penuh harapan, semoga kali ini berhasil dianugerahi hati berkenan sang betina. Sanggup memilih mengandaikan suatu kemampuan untuk menimbang, untuk memegang kendali nasib, untuk berkreasi. 
 
Sebab siapa berkemampuan untuk memilih dia mengatasi nasib, ia raja yang menguasai dalil rutin belaka. Dari lain pihak, dari mana perasaan sedih dan kecewa dan kejengkelan yang lalu melolosi dan merombak sesuatu yang dinilainya gagal? Dari mana datangnya tekad baru yang kreatif kembali, yang mengandaikan jiwa yang punya harapan, tidak ada kata menyerah hanyut dalam kegundahan, namun aktif menimbulkan fajar baru. Sungguh menakjubkan bukan?

Melempar sarang burung tempua

Sarang Tempua bisanya tergantung tinggi di atas pohon walaupun ada yang agak rendah. Jikalau pun rendah maka pasti di dekatnya ada sarang ular, lebah atau penyengat. Tempua berlindung pada hewan-hewan tersebut. Kalau Tempua bersarang pada posisi rendah, pastilah ada yang dapat menjaganya. Orang Melayu mengatakan, “kalau tidak ada berada, takkan mungkin tempua bersarang rendah.” Hanya karena keberadaan sesuatu hal (penjaga) maka Tempua mau bersarang di dahan rendah.

Suatu hari, di bulan Juni 1973 di desa Citalaksana - Lampung Selatan, saya memberanikan diri untuk mengambil sarang burung tempua itu. Saya selalu penasaran, melihat sarang tempua yang bergelantung pada pohon Bayur itu. Letaknya, persis ditepian sawah padi sedang bunting, hampir mengeluarkan buahnya. 
 
Pada mulanya saya ada rasa takut untuk mendekati pohon yang ada sarang burung tempua itu. Namun dikarenakan rasa penasaran dan keinginan untuk mengambil salah satu dari sarang itu, maka timbullah rasa keberanian. Apapun yang terjadi, saya akan melemparkan sepotong kayu kearah sarang-sarang yang bergelantungan itu.

Lemparan kayu pertama meleset, lemparan kedua hampir kena dan pada lemparan kayu kelima jatuh salah satu sarang burung tempua itu. Begitu sarang burung itu jatuh, saya langsung menghampirinya. Namun betapa terkejutnya saya, ketika melihat didekat sarang burung itu ada segerombolan tawon yang siap menyengat. Tanpa pikir panjang, penulis langsung melarikan diri.

Sedikit gambaran kata-kata yang tepat momen itu : 

Saya kepanikan: saat melihat tawon mendekat, seakan siap menyenggat saya. Dan rasa hati yang penuh kecemasan: ada khawatir dan gelisah yang terus-menerus, akhirnya saya menyelamatkan diri didalam sawah yang padinya sangat rimbun. Maka, amanlah saya.
 
Seperti kata pepatah, 'Jadilah seperti burung yang bebas terbang, namun tetap memiliki akar yang kuat.' Semoga kita bisa belajar dari burung tentang kebebasan, kekuatan, dan juga ketahanan. Terima kasih sudah membaca, sampai jumpa di artikel selanjutnya!
 
Salam interaksi. 

Tidak ada komentar

Cerewet 11

  Kejadian lucu itu masih teringat jelas sampai sekarang. Saat itu tahun 2019, kami sekelompok teman memutuskan untuk berkunjung ke Bantul...

Diberdayakan oleh Blogger.